“Negosiasi perdagangan itu sebenarnya seumur hidup lah bisa dibilang, terus berlangsung,” kata Juru Bicara Kemenko Perekonomian, Haryo Limanseto memulai press briefing di ruang media massa Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, kawasn Lapangan Banteng, Jakarta, Rabu, 9 Juli 2025.
Haryo menyatakan, saat ini Pemerintah Indonesia tengah berusaha untuk terus melakukan perundingan terkait keputusan Pemerintahan Presiden Donald Trump terkait pengenaan tarif kepada Indonesia.
Pada Selasa, 8 Juli lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akhirnya menetapkan pengenaan tarif impor barang dari Indonesia sebesar 32 persen. Angka pengenaan tarif impor untuk Indonesia ini tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan yang diumumkan Trump pada awal April 2025 lalu.
Selain Indonesia, Presiden Trump juga mengirim surat pengenaan tarif impor barang ke AS kepada 13 pemimpin negara lainnya. Diantaranya Korea Selatan, Jepang, Malaysia, Kazakhstan, Afrika Selatan, Myanmar, Laos, Tunisia, Bangladesh, Serbia, Bosnia dan Herzegovina (BiH), Kamboja, dan Thailand. Besarannya tarifnya berbeda-beda, berkisar antara 25 persen hingga 40 persen dan akan dikenakan mulai 1 Agustus 2025.
Pemerintah pun berusaha menyanggah keputusan itu dengan melakukan negosiasi ulang, karena memang hanya denagn jalan diplomasi, Indonesia diharapkan bisa membuat kesepakatan yang sama-sama menguntungkan. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menjadi ujung tombak upaya renegosiasi ke Amerika Serikat.
"Pak Menko Airlangga saat ini berada di Amerika Serikat dan dijadwalkan akan bertemu langsung dengan Secretary of Commerce, Treasury, dan USDA," kata Haryo.
Kehadiran Airlangga, lanjut Haryo merupakan bentuk respon terhadap surat resmi Pemerintah AS kemarin, yang menurut kami masih menyisakan ruang untuk merespon sebelum kebijakan berlaku Agustus nanti.
Kesepakatan B2B Jadi Alternatif
Selain diplomasi antar pemerintah, Indonesia juga mengandalkan pendekatan bisnis ke bisnis (B2B). Haryo mengungkapkan bahwa pemerintah mendorong sektor swasta untuk segera menyepakati transaksi perdagangan atau investasi dengan mitra mereka di AS sebelum pengumuman tarif keluar. Salah satu hasilnya adalah penandatanganan nota kesepahaman (MoU) pembelian gandum senilai US$1,25 miliar antara pelaku usaha Indonesia dan AS.
“Beberapa MoU sudah selesai dilaksanakan dan ini bisa menjadi sweetener buat upaya-upaya negosiasi yang dilakukan pemerintah,” jelasnya.
Bahkan, menurut Haryo, total nilai kesepakatan B2B yang dicapai telah melebihi nilai defisit perdagangan yang dikeluhkan oleh pihak AS.
Berdasarkan data INDEF, perdagangan AS dengan Indonesia mengalami sepanjang periode 2020 – 2024. Pada 2022, AS membukukan defisit sebesar US$ 27,3 miliar.
Kemudian, pada 2020 neraca dagang AS dengan Indonesia defisit US$ 13,9 miliar, dan 2021 defisit US$ 19,6 miliar.
Selanjutnya, pada 2023 neraca dagang AS dengan Indonesia defisit US$ 18,2 miliar.
Terakhir, sepanjang 2024 neraca dagang Amerika dengan Indonesia defisit sebesar US$ 19,3 miliar.
Menurutnya, langkah negosiasi yang diambil Indonesia mendapat catatan positif dari tim negosiator AS. Proposal Indonesia bahkan disebut menjadi rujukan bagi negara lain dalam menghadapi tarif dagang baru.
Namun Haryo belum bisa mendetailkan pihak-pihak yang akan terlibat dalam kerjasama ini, juga dampaknya pada perekonomian nasional. “Mohon maaf, karena ini business to business, kami juga ada keterbatasan untuk menyampaikan,” jelas Haryo, seraya menegaskan bahwa sebagian transaksi masih dalam proses dan belum final.
Indonesia sejak awal pekan sudah mengutus Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto ke negeri Paman Sam untuk negosiasi lanjutan terkait tarif resiprokal 32%.
Di sana, ia merinci Indonesia melalui berbagai perusahaan BUMN telah melakukan kesepakatan impor minyak, jagung dan LPG dari AS.
Beberapa diantaranya antara lain PT Pertamina (Persero) telah meneken nota kesepahaman terkait impor minyak mentah (crude oil) dari Amerika Serikat (AS). Dalam dokumen kerja sama atau Memorandum of Understanding (MoU) itu, Pertamina siap memborong LPG, bensin dan minyak mentah dari AS.
Selain itu, kata Menko Airlangga, FKS Group dan PT Sorini Agro Asia Corporindo Tbk telah menandatangani perjanjian pembelian jagung dari Cargill, termasuk Sorbitol Syrup dan Sorbitol Powder, Maltitol, Dextrose Monohydrate, Maltose Syrup, dan Maltodextrine.
Tak hanya lewat transaksi bisnis, pemerintah juga menyiapkan fondasi jangka panjang lewat reformasi regulasi. “Selama ini juga kita ada tim deregulasi, PP28, OSS, dan sebagainya,” terang Haryo, saat menjawab soal non-tariff barriers yang disebut jadi alasan Vietnam bisa lebih cepat mendapatkan keringanan tarif.
Langkah-langkah tersebut, meski tidak spesifik ditujukan untuk merespons kebijakan AS, menjadi bukti bahwa Indonesia sedang membenahi diri. “Kita selama ini mempermudah investasi, bukan hanya untuk AS, tapi untuk semua negara,” tambahnya.
Indonesia di Posisi Sulit
Meski pemerintah mengklaim negosiasi berjalan positif, sejumlah ekonom melihat posisi Indonesia dalam negosiasi ini cukup lemah. Yusuf Rendy Manilet, ekonom dari CORE Indonesia, menilai rencana Trump untuk memberikan tarif lebih rendah kepada Vietnam menempatkan Indonesia dalam posisi yang kurang menguntungkan.
"Ini berpotensi mengurangi daya saing produk Indonesia, terutama yang punya kesamaan dengan Vietnam seperti elektronik dan tekstil. Padahal, kita tahu AS adalah pasar ekspor utama untuk produk-produk itu," ujar Yusuf.
Ia menambahkan, kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena industri tekstil nasional tengah mengalami penurunan kinerja dan gelombang PHK. Oleh karena itu, menurut Yusuf, pemerintah perlu menyiapkan strategi alternatif seperti diversifikasi pasar ekspor, terutama melalui keanggotaan dalam FTA atau inisiatif seperti BRICS.
Namun ia juga mengingatkan, "Diversifikasi pasar harus dilakukan hati-hati, agar tidak bertentangan dengan upaya negosiasi yang sedang dijalankan."
Pemerhati ekonomi Yanuar Rizky menilai bahwa disparitas tarif antara Indonesia (32%) dan negara serumpun seperti Malaysia (25%) dapat merugikan sektor ekspor manufaktur kita.
“Barang kita jadi lebih mahal dibanding Malaysia. Ini akan menyulitkan sektor produksi kita bersaing di pasar AS dan berujung pada risiko PHK, deindustrialisasi, serta penurunan penerimaan pajak negara,” kata Yanuar.
Ia juga menyoroti lemahnya posisi diplomasi Indonesia karena dianggap AS sebagai jalur carry trade Cina. "Berbeda dengan Vietnam yang siap jadi alternatif pengganti Cina, kita justru dilihat hanya sebagai perantara dagang, bukan mitra langsung," ujar dia.
Yanuar menekankan pentingnya kalkulasi matang ke depan. “Kalau kita mau ikut dedolarisasi dan masuk BRICS, apakah China siap menutup utang pemerintah dan sektor swasta kita yang berbasis dolar AS? Ini harus dipikirkan sebelum langkah diplomatik dijalankan,” ungkapnya.
Negosiasi Belum Selesai
Haryo melanjutkan, meskipun pengumuman tarif 32% sudah keluar dari pihak AS, Indonesia belum menganggap negosiasi selesai. Menurut dia, surat pemberitahuan dari AS bukan akhir dari proses negosiasi.
“Perundingan ini masih berlangsung. AS juga menyampaikan bahwa Indonesia tidak perlu kecewa, dan kita juga menyampaikan hal serupa. Ini diplomasi yang masih cair,” ujar Haryo.
Pemerintah menilai bahwa Indonesia masih memiliki peluang untuk mengubah hasil akhir kebijakan tarif, dengan mengedepankan posisi strategis Indonesia dalam perdagangan global.
“Kami akan menonjolkan kepada pihak Amerika bahwa Indonesia adalah negara yang strategis dalam perdagangan personal. Jadi, kita berharap mendapatkan semacam kesepakatan yang lebih baik dari yang ada sekarang,” lanjut Haryo.