Pedagang Online Perlu Menyiasati Dampak Pengenaan Pajak Lewat Platform E-Commerce

Pedagang Online Perlu Menyiasati Dampak Pengenaan Pajak Lewat Platform E-Commerce
Photo by Markus Spiske / Unsplash
Daftar Isi

Pemerintah akan menerapkan peraturan baru yang mewajibkan platform e-commerce untuk memungut pajak pendapatan pedagang online dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, demikian dilaporkan kantor berita Reuters, Rabu (25/6). 

Aturan yang rencananya mulai berlaku bulan Juli itu dilakukan untuk menyamakan kedudukan toko online dan fisik. 

Perubahan tersebut akan memengaruhi operator e-commerce ternama seperti TikTok Shop, Tokopedia, Shopee, Lazada, Blibli, dan Bukalapak.

Nantinya platform e-commerce akan diminta memotong pajak senilai 0,5% dari pendapatan pedagang yang memiliki omset antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar per tahun. Dengan penghasilan segitu, mereka dinilai sebagai perusahaan kecil dan menengah.

Indonesia telah menerapkan peraturan serupa pada akhir 2018 yang mengharuskan semua pedagang online membayar pajak atas pendapatan penjualan namun kembali ditarik tiga bulan kemudian karena reaksi keras industri. 

Peraturan tersebut nantinya akan dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan. Hingga berita ini diturunkan, kementerian tersebut belum berkomentar. 

Dihubungi terpisah, Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) mengaku siap menjalankan kebijakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 

“Sampai saat ini, aturan resminya memang belum diterbitkan, sehingga kami belum bisa memberikan tanggapan secara teknis. Namun, kami memahami bahwa wacana ini sudah mulai disosialisasikan secara terbatas oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada beberapa marketplace sebagai bagian dari proses persiapan implementasi,” ujar Budi Primawan, Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), dalam statementnya kepada SUAR.

Namun demikian, ia khawatir implementasinya akan berdampak langsung pada jutaan seller, khususnya pelaku UMKM digital. Menurutnya, penting bagi platform sebagai ekosistem untuk memastikan kesiapan sistem, dukungan teknis, serta komunikasi yang memadai kepada para seller.

“idEA mendorong agar kebijakan ini diterapkan secara hati-hati dan bertahap, dengan mempertimbangkan kesiapan para pelaku UMKM, kesiapan infrastruktur baik di sisi platform maupun pemerintah, serta pentingnya sosialisasi yang luas dan komprehensif kepada masyarakat,” kata dia. 

Penolakan dari pedagang online

Salah satu pedagang online, Dewi Fortuna, 39 tahun, mengatakan sangat keberatan dengan peraturan itu mengingat saat ini pedagang online menghadapi banyak tantangan dari persaingan, potongan administrasi, hingga logistik untuk ‘gratis ongkir’. 

“Misal pesanan Rp1 juta pembeli dapat gratis ongkir, namun itu tidak sepenuhnya dari platform e-commerce tapi dari dana kita juga,” ujar perempuan yang menjual alat-alat mendaki gunung.  

Ditambah lagi, ujar dia, ada pedagang besar atau grosiran ikut berjualan di e-commerce, membuat keadaan toko online skala kecil kian terdesak. “Modal mereka karyawan ada, importir juga. Kalau kami retail kecil mah dipajakin makin tambah sesak napas, kami nggak bisa ambil untung banyak, superduper sedikit,” kata dia kepada SUAR. 

Namun demikian, hal tersebut tidak akan membuatnya menarik diri dari jualan online karena pertimbangan biaya.  “Kalau menarik diri sih enggak, karena sewa toko juga mahal,” ujar dia.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan pendapatan negara sampai Mei 2025 turun 11,4% (yoy) atau terkumpul Rp 995,3 triliun. Penurunan itu dikarenakan harga komoditas yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang lemah dan gangguan pada pengumpulan pajak karena adanya peningkatan sistem.

Sementara itu, industri e-commerce Indonesia sedang berkembang pesat dengan estimasi nilai barang dagangan tahun lalu sebesar US$ 65 miliar dan diharapkan tumbuh menjadi US$ 150 miliar pada 2030, menurut laporan Google, investor negara Singapura Temasek, dan konsultan Bain & Co.

Baca selengkapnya