Regulasi Pengolahan Uranium dan Torium Disiapkan, PLTN Jadi Nyata?

Regulasi Pengolahan Uranium dan Torium Disiapkan, PLTN Jadi Nyata?
Indonesia berencana peraturan soal pengolahan uranium atau torium yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Kalimantan Photo by Viktor Kiryanov / Unsplash
Daftar Isi

Pemerintah terus mendorong rencana pembangkit listrik tenaga nuklir pertama di Indonesia di tengah meningkatnya permintaan energi dan target ambisius untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060. 

Melansir beberapa media di Indonesia, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan pihaknya tengah menyiapkan peraturan soal pengolahan uranium atau torium yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Kalimantan. 

Potensi energi nuklir berupa uranium itu disebutkan terdapat di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Menurut Atlas Geologi Sumber Daya Mineral Kalimantan Barat terdapat 24.113 ton uranium. 

“Kami lagi siapkan PP [Peraturan Pemerintah]-nya, mudah-mudahan itu dari PP-nya itu bisa diimplementasikan untuk pemurnian pengolahan bahan radioaktif itu [uranium/thorium] bisa dimanfaatkan untuk energi," ujar Yuliot dikutip Bisnis Indonesia akhir pekan lalu. 

Saat ini, ujar Eliot pemerintah masih menata perizinan di wilayah usaha radioaktif tersebut, karena perizinan pertambangan uranium harus ketat dari sisi lingkungan. 

Menanggapi hal ini Pakar Lingkungan Hidup dari Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa mengatakan pembangunan pengolahan uranium untuk jadi bahan baku PLTN memang menuai kontroversial mulai dari sisi biaya, keamanan dan resiko lingkungan. 

“Kalau kita melihat dari sisi biaya, ekonomi, investasinya kan memang di awal sangat besar untuk PLTN. Memang secara umum kalau dibandingkan dengan energi fosil, energi fosil menjadi banyak pilihan dari sisi biaya,” ujar dia kepada SUAR.

Menurut dia, selain di Kalimantan Indonesia memiliki sumber uranium yang dapat digunakan meskipun menuai perdebatan untuk dijadikan pertambangan bahan baku PLTN dengan berbagai resiko yang ada. 

Oleh karenanya, ia menyarankan agar pemerintah membuka kolaborasi kemitraan dengan negara-negara penghasil uranium di dunia seperti Australia, Rusia dan Perancis. 

“Saya kira dengan membangun itu, dengan kepercayaan diri, bahwa dengan transisi energi yang dibutuhkan untuk membangun PLTN dengan berbagai tantangan, baik itu biaya, teknologi, perusahaan lingkungan yang berkaitan, khususnya berkaitan dengan kebencanaan,” ujar dia.

Penggunaan energi nuklir dalam bauran energi Indonesia disebutkan dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2024-2060, yang ditandatangani oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia pada 29 November lalu. Dokumen itu menyebutkan nuklir adalah salah satu sumber energi baru nasional yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan tenaga listrik dan akan mengisi porsi sekitar 10% dari total produksi listrik di Indonesia.

Direktur Operasi perusahaan Amerika, PT. ThorCon Power Indonesia, Bob S Effendi pihaknya akan membangun PLTN di Indonesia berbasis torium dengan kapasitas 500 MW di provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang kaya akan timah. 

“Ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di ASEAN yang resmi menggunakan nuklir,” kata dia dalam sebuah unggahan di platform media sosial Facebook. 

Proyek PLTN ini diperkirakan menelan biaya $1,1 miliar setara dengan Rp16,5 trilliun, yang mencakup biaya impor prototipe reaktor berbasis torium dari Korea Selatan pada 2028, menurut Bob. 

Torium, atau logam tanah jarang yang sering ditemukan bersama timah di Bangka Belitung disebut sebagai bahan bakar nuklir yang lebih aman dan efisien dibandingkan uranium. 

Hingga 2024, energi terbarukan baru menyumbang 13,93% dari bauran energi nasional, jauh di bawah target 19,5%, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Pembangkit listrik berbasis batu bara menghasilkan sekitar 67% listrik di Indonesia, menurut data kementerian.