Akselerasi penempatan pekerja migran kompeten atau berketerampilan berpotensi menjadi solusi untuk menekan pengangguran di dalam negeri. Pemerintah serius melakukan pelatihan juga advokasi perlindungan, termasuk sebelum keberangkatan hingga pasca kepulangan.
Sudah tiga kali, Jiati mengadu nasib di negeri orang. Pertama ia ke Taiwan, 26 tahun lalu. Tanpa membawa keahlian apapun, ia cuma bertahan satu setengah tahun sebagai pegawai kantin, sebelum dideportasi, karena masalah pelanggaran aturan. Setelah pulang kampung di Malang selama enam bulan, ia kembali berangkat ke Hong Kong.
Sama seperti yang pertama ia memakai jalur tak resmi, hingga membuat dirinya hanya bertahan 7 bulan setelah bekerja sebagai perawat anak. Taerakhis pasca Covid, Jiati kembali ke Taiwan. Namun kini ia sudah meiliki keahlian dalam ilmu keperawatan. Ia pun menjadi caregiver juga berangkat melalui jalur resmi sehingga bekerja lebih nyaman.
Tak terasa, Jiati sudah bekerja selama 3 tahun di Taiwan. Dia baru saja memperpanjang kontraknya. Ia merasa betah di Taiwan “Majikan saya sangat baik. Taiwan sangat menghargai para pekerja asing,” katanya. Jiati merawat lansia berusia 95 tahun dan tinggal bersama lansia itu beserta tiga orang anggota keluarganya.
Bila Jiati sudah sukses di negeri orang, Juhro asal Indramayu ini masih berjuang untuk bisa segera berangkat ke negara penempatannya. Perempuan 23 tahun ini sempat jadi buruh garmen selama setahun di Majalengka.
Ia pun memutuskan untuk mengubah nasib dan mendaftar jadi PMI lewat di PT Sentosakarya Aditama cabang Indramayu. Juhro diberi bekal di perusahaan itu selama dua bulan sebelum akhirnya berangkat ke kantor pusat di Bekasi. Di kantor pusat, Juhro sudah menghabiskan waktu selama enam bulan. Baik di Indramayu dan Bekasi, sehari-hari Juhro melakukan hal yang relatif sama: belajar bahasa dan keterampilan sesuai dengan pekerjaan yang dipilih. Dia akan berangkat ke Taiwan.
Di PT Sentosakarya Aditama, kata Juhro, ada tiga pekerjaan yang dapat dipilih oleh calon pekerja migran indonesia (CPMI) seperti dirinya, yakni merawat orang tua, kerja di pabrik, dan jadi pembantu rumah tangga atau PRT. Juhro memilih yang terakhir.
Setelah 6 bulan di kantor pusat, pada 14 Juli nanti, bersama dengan 4 orang lain asal Cilacap dan Indramayu, Juhro akan berangkat bekerja di Taiwan. “Ada yang baru sebulan sudah dapat majikan, ada yang lama. Tergantung rezeki kita,” katanya
Dengan bekerja di Taiwan, Juhro akan dapat uang yang jauh lebih banyak ketimbang bekerja di Indonesia. Sewaktu masih jadi PRT di Bekasi, gaji Juhro sebesar 2 juta rupiah. Di Taiwan, Juhro mendapatkan upah lima kali lebih besar. “Sekitar 10 jutaan, kontrak 3 tahun,” katanya.
Selama di Indramayu dan Bekasi, Juhro mengatakan tidak mengeluarkan biaya, meskipun sebenarnya tetap ada biaya yang nantinya akan dia bayar. “Nanti pakai dana talangan,” katanya. Terkait sistem penggantian biaya, Juhro mengaku belum mengetahui mekanismenya secara detail. Hal itu akan dijelaskan menjelang keberangkatannya.
Skema dana talangan semacam ini dimungkinkan oleh regulasi. Dalam keputusan Kepala BP2MI Nomor 214 Tahun 2021 dijelaskan biaya penempatan dapat terlebih dahulu ditanggung oleh perusahaan penempatan atau mitra di negara tujuan.
Aturan terbaru, Keputusan Kepala BP2MI Nomor 50 Tahun 2023 menetapkan biaya penempatan ke Taiwan dengan batas maksimal Rp9,62 juta untuk komponen biaya di dalam negeri, dan dan NT$20.000 sebagai biaya jasa yang dibayarkan kepada pihak mitra di luar negeri.
Febri Eko, Direktur Operasional PT Sentosakarya Aditama, mengatakan, seluruh biaya persiapan CPMI memang ditalangi oleh perusahaannya. Koperasi, salah satu unit usaha dari PT Sentosakarya Aditama, mempunyai tugas mengurus hal-hal terkait pembiayaan ini. CPMI akan mengganti uang perusahaan pemberangkatan setelah mereka mulai bekerja dan mendapatkan gaji. “Nanti mereka bayarnya cicil per bulan,” kata Eko.
Perusahaan tetap memberikan pelatihan kepada seluruh CPMI yang mendaftar. Eko mengatakan bahwa meskipun ada yang merupakan alumni lembaga pelatihan kerja (LPK), mereka tetap dibekali kembali hingga waktu keberangkatan. Selain memberikan pelajaran bahasa dan keterampilan teknis, Eko juga menekankan pentingnya materi terkait adat-istiadat sesuai dengan negara penempatan. “Agar majikan di sana senang dengan PMI,” katanya.
Selain menalangi seluruh biaya persiapan dan tetap memberikan pelatihan, perusahaan juga berperan mencari pekerjaan bagi CPMI di negara penempatan. Hal ini dilakukan dengan, menjalin kerja sama dengan berbagai agensi di negara penempatan. Agensi akan bertugas mencarikan calon tempat kerja atau majikan bagi CPMI. “Tahun lalu kita paling banyak kirim PMI ke Taiwan, sekitar 300-an. Selebihnya di Hongkong, Malaysia, dan Singapura,” ucap Eko.
Mengurangi Pengangguran Sembari Tambah Devisa
Jiati dan Juhro adalah cerita kecil dari bagian besar ikhtiar ribuan pekerja migran Indonesia yang mencoba memperbaiki nasibnya, karena kurangnya lapangan pekerjaan di dalam negeri. Setiap tahun, para Pekerja Migran Indonesia (PMI) ini menyumbangkan devisa ke negara, atau remitansi hingga milyaran rupiah.

Pada tahun 2024, remitansi PMI mencapai Rp253,3 triliun. Sedangkan tahun ini, Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia/Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menargetkan sumbangan devisa dari PMI sebesar Rp436 triliun.
Saat ini, Indonesia mengerahkan 200.000-300.000 PMI setiap tahunnya, namun angka ini sekitar 30% lebih rendah dari angka tahun 2014-2015. Penempatan Pekerja migran ini kembali menanjak lebih dari 176% pada tahun 2022 dan bertambah 37% pada tahun 2023.

Potensi besar menempatkan pekerja Indonesia di luar negeri mulai dilirik pemerintah karena adanya devisa serta kesejahteraan yang bisa didapat para pekerja itu sendiri. Menteri Perlindungan Pekerja Migran/Kepala B2MI Abdul Kadir Karding juga mendorong lebih banyak warga Indonesia bekerja di luar negeri, karena akan menjadi solusi bagi penurunan tingkat pengangguran di Indonesia.
Namun Karding menegaskan, saran itu bukan berarti ia ingin warga Indonesia malah terlantar di luar negeri, hanya karena pemerintah ingin menurunkan jumlah pengangguran. “Saya ini bertugas melindungi pekerja migran dan menempatkan mereka. Jadi konteksnya jelas, bukan berarti di dalam negeri tidak ada pekerjaan, melainkan memberi peluang tambahan di luar negeri yang aman dan legal,” ujarnya.
Menteri Karding juga mengingatkan pentingnya edukasi dan sosialisasi yang masif agar masyarakat lebih memahami proses, peluang, serta perlindungan yang diberikan pemerintah terhadap calon pekerja migran. Ia berharap masyarakat memahami bahwa program penempatan pekerja migran adalah peluang, bukan paksaan, serta dilakukan dengan prinsip perlindungan dan peningkatan kesejahteraan.
Niatan pemerintah untuk menguatkan sektor ketenagakerjaan berorientasi ke luar negeri mulai dirintis sejak ada perubahan Undang-undang nomor 39 tahun 2004, mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang disempurnakan melalui Undang-undang 18 tahun 2017 mengenai Perlindungan Pekerja Migran.

Perubahan berlanjut lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 90 Tahun 2019 yang mengubah Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menjadi Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), lembaga yang berada langsung di bawah Presiden dan bertugas menjalankan kebijakan teknis perlindungan dan pemberdayaan PMI.
Terbaru, berdasarkan Perpres Nomor 165 dan 166 Tahun 2024, BP2MI menjadi bagian dari Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KemenP2MI), kementerian baru yang dibentuk untuk menangani isu pekerja migran secara lebih terpusat dan strategis.
Judha Nugraha, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) Kementerian Luar Negeri menyebut, adanya beberapa undang-undang baru itu menandai perubahan fundamental terkait pengelolaan tenaga kerja migran oleh Pemerintah Indonesia.
“Hal yang mendasar, yang berubah dari undang-undang tersebut adalah kita dulunya memisahkan antara proses penempatan dengan proses pelindungan. Di undang-undang yang baru proses penempatan itu merupakan bagian integral dari perlindungan. Judulnya sudah tidak lagi penempatan dan perlindungan, tapi langsung perlindungan pekerja migran Indonesia,’ jelas Judha.

Selain itu, jika dulu negara memobilisasi, saat ini negara memfasilitasi. Sehingga pilihan melakukan migrasi itu ada pada masing-masing individu warga negara. Di sisi lain, dengan adanya aturan baru itu, perlindungan yang diberikan negara, bukan hanya ketika ada kasus. Namun, perlindungan itu harus sudah dimulai sejak dari sebelum calon pekerja migran mereka berangkat. “Ini yang kemudian kita ingatkan bahwa perlindungan harus dimulai dari hulu,” kaya Judha.
Bila melihat dari data yang ada, memang persoalan pelanggaran aturan menjadi hal utama yang sering dialami PMI. Pada tahun 2024, total ada 67 ribu lebih kasus warga negara Indonesia yang ditangani oleh Kementerian Luar Negeri dan perwakilannya. Dari 67 ribu kasus itu, 10% diantaranya adalah kasus pelanggaran izin tinggal, juga pelanggaran visa kerja. Kemudian yang kedua adalah kasus ketenagakerjaan.
Ini menunjukkan pekerja migran Indonesia berangkat ke luar negeri masih menggunakan cara yang tidak aman dan non-prosedural. “Nah ini tantangan terbesar kita. Bahwa lebih banyak yang bekerja secara non-prosedural ketimbang yang prosedural,” tambah Judha.
Terkait wacana peningkatan penempatan tenaga kerja migran yang kompeten atau memiliki keterampilan khusus, menurut Judha, dampaknya memang akan positif bagi usaha perlindungan PMI sendiri. Karena dari pengalaman yang ada, selama ini pekerja terampil yang penempatannya melalui prosedur yang sesuai aturan, akan memiliki proteksi lebih baik dari pada yang tidak punya keterampilan. Sementara pekerja domestik, atau yang bekerja di lingkup rumah tangga, pengawasannya lebih sulit dibanding yang bekerja di sektor formal.
Selain perlindungan, tugas utama negara dalam hal ini adalah melakukan pengembangan sumber daya manusia. Seorang PMI yang sudah mengakhiri masa kontraknya, sebagai profesional yang pengalaman, dia bisa menularkan ilmunya pada saat dia kembali ke Indonesia. “Jadi sangat luas konsep migrasi itu jangan hanya dinilai dari sisi remitansi,” katanya.
Penyempurnaan Proses Penempatan
Penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, khususnya yang memiliki kompetensi, atau punya keterampilan, secara data memang bisa jadi solusi mengurai masalah pengangguran saat ini. Diperkirakan Indonesia saat ini menghadapi tantangan berupa 7,47 juta pengangguran dan 11,56 juta orang setengah menganggur.
Sebuah studi yang dilakukan Indonesia Business Council (IBC) menyebut, pengangguran bisa dikurangi signifikan di masa depan, salah satunya dengan pengelolaan pengiriman tenaga kerja yang baik sejak sekarang. Khususnya bagi pekerja migran yang memiliki keterampilan atau kompetensi. Diperkirakan saat ini, pekerja migran yang tidak memiliki keterampilan khusus jumlahnya hingga 67% dari pekerja migran yang memiliki kompetensi khusus.
Simulasi yang dilakukan IBC, dengan menggunakan data dari tahun 2015 hingga 2023, memperkirakan, tingkat pengangguran dari tahun 2025 hingga 2029 bila tidak ada percepatan penempatan, maka akan terjadi penurunan persentase pengangguran hingga 0,21 poin prosentase, setara dengan 324.600 orang lebih sedikit yang menganggur setiap tahun (2025-2029).
Namun jika ada penambahan 30% dalam penempatan PMI di berbagai negara di dunia, akan mengurangi tingkat pengangguran sebesar 0,28 poin persentase antara tahun 2025 dan 2029, yang setara dengan 422.000 orang. Ini adalah angka yang signifikan, mengingat Indonesia berhasil mengurangi tingkat penganggurannya hanya sebesar 0,7 poin persentase antara tahun 2016 dan 2024 (dari 5,61% menjadi 4,91%).
Selain meningkatkan penempatan, meningkatkan porsi PMI yang bekerja di pekerjaan dengan keterampilan rendah dan menengah dari pekerjaan tidak terampil yang saat ini dominan, dapat meningkatkan kontribusi ekonomi PMI.
Meskipun dampak peningkatan penempatan PMI mungkin terbatas dalam jangka pendek, meningkatkan penempatan saat ini sebesar 30% yang ditujukan pada tingkat pekerjaan dengan keterampilan rendah dan menengah dapat meningkatkan remitansi Indonesia dari sekitar $14,9 miliar pada tahun 2024 menjadi $27,6 miliar pada tahun 2029. Hal ini akan secara signifikan meningkatkan pendapatan rumah tangga dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi regional.
Direktur Jenderal Promosi dan Pemanfaatan Peluang Kerja Luar Negeri KP2MI, Dwi Susanto, mengaku saat ini pihaknya sedang memetakan negara penempatan yang potensial beserta kuantiti peluang pekerjaannya. Kementerian bakal mensupervisi kerja sama pengiriman PMI yang sifatnya private to private (P2P), selain meneruskan relasi bilateral atau government to government (G2G) yang selama ini terjalin dengan Jerman, Jepang dan Korea Selatan.
Kepada Suar, Dwi Setiawan menjelaskan, setidaknya skema P2P sudah menjaring 100 negara penempatan, yang mengerucut pada ratusan jabatan kerja. Mulai dari sektor keperawatan sampai industri. Persoalan yang perlu dilakukan adalah menyiapkan CPMI yang memiliki daya saing berkelas internasional, baik secara kemampuan teknis, bahasa, budaya dan mental diri. “Nah ini harus disiapkan dalam suatu proses yang saat ini kita kembangkan sebagai Migrant Center,” ungkapnya.
Secara konsep, Migrant Center disebut Dwi berperan sebagai pusat layanan terpadu yang terintegrasi dalam sistem vokasi nasional. Migran Center bakal menjadi pelayanan terintegrasi yang menggabungkan informasi, pelatihan, sertifikasi, dan penempatan kerja luar negeri. Pada pertengahan 2025, Migrant Center baru dibentuk di Universitas Diponegoro dan Universitas Negeri Padang.
Institusi pendidikan tinggi dipilih sebagai pusat awal Migrant Care demi memantik minat dan bakat jebolan kampus berkarier di luar negeri. Selain itu, infrastruktur dan fokus pendidikan di kampus dinilai dapat menyasar pemenuhan kebutuhan tenaga kerja, yang semestinya berketerampilan menengah dan tinggi.
Hanya saja, perlu ada pendalaman bahasa yang disiapkan sejak awal semester sehingga CPMI dari alumni kampus sudah siap kerja. “Dengan adanya Migrant Center ini, kami bisa match-kan dengan standar kompetensi di negara tujuan karena akan dibuat kelas yang memang untuk ke luar negeri,” ujar Dwi.
Peranan perguruan tinggi sebagai Migrant Center juga bisa mensupervisi pelatihan yang berlangsung di LPK. Dwi meyakini banyak LPK yang tidak tersertifikasi secara institusi maupun pengajarnya. Selain itu, ada pula LPK yang tidak memetakan kebutuhan tenaga kerja khusus migran, lantaran LPK juga melayani kebutuhan pelatihan untuk keperluan kerja dalam negeri. Bahkan, pada kasus tertentu, LPK juga melanggar aturan dengan merangkap sebagai perusahaan penyalur. Imbasnya, pelatihan CPMI tak berjalan efektif.
Dwi menekankan LPK semestinya hanya berfokus pada keterampilan pekerja migran. Jika negara tujuan adalah Jepang, maka dirancang pelatihan bahasa dan kemampuan teknis sesuai sektor pekerjaannya. “Kurikulumnya akan dibuat spesifik. Nanti juga fasilitatornya kami bisa hadirkan dari Jepangnya langsung,” tuturnya.
Ke depan, kata Dwi, KP2MI bakal mengevaluasi kerja-kerja LPK. Bakal ada surat penetapan soal LPK terkait layak atau tidak melatih pekerja migran. Artinya, legitimasi LPK layak bukan cuma dari Kementerian Ketenagakerjaan. Untuk menggenjot kualitas pelatihan, LPK pun bakal mendapat bantuan dari pemerintah. Semisal LPK yang mengajarkan bahasa Jerman, pemerintah berperan menjembatani dengan lembaga Goethe.
Sehingga, LPK yang sudah ditangani KP2MI bisa dicap sebagai Migrant Center pula. “Semacam penetapan, bisa surat keputusan (yang) menyatakan (LPK) itu memang layak sebagai kelas migran,” katanya.
LPK bidang teknis, pun bakal disoroti. Dwi mewanti-wanti kuantiti CPMI mesti diperbanyak di sektor pekerjaan berketerampilan rendah dan menengah. KP2MI menyasar pengoptimalan tenaga kerja keperawatan ke negara yang memiliki proyeksi besar populasi lansia. Atau sektor-sektor pekerjaan lain yang memiliki cukup daya tawar. Sehingga, bisa mengikis dominasi pekerjaan domestik.
“PMI tidak dikenal sebagai ART lagi, tapi caregiver. PMI juga bisa ahli di bidang elektrikal. Bahkan kalau dia sopir di rumah tangga, nanti kan bisa bekerja di perusahaan. Bisa naik kelas,” ucapnya.
Bukan cuma di perguruan tinggi dan LPK yang diakselerasi KP2MI. Legitimasi Migrant Center bakal juga menyasar institusi pendidikan vokasi seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Urgensinya demi mereduksi jumlah pengangguran di jenjang pendidikan ini. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran terbuka paling banyak dari lulusan SMK, senilai 9,01 persen per Februari 2025.
Saat ini KP2MI tengah mengincar beberapa SMK di Provinsi Lampung untuk dilabeli Migrant Center. Pemerintah setempat didorong untuk membuat kurikulum dan kelas khusus calon pekerja migran bagi pelajar SMK. Apa yang dilatih kepada siswa bakal mengikuti kebutuhan pasar tenaga kerja negara tujuan. Bahan ajar juga disesuaikan dengan standar negara sasaran.
“Nanti dibuat piloting-nya 6 sekolah. Nah 6 sekolah ini arahnya ke up-skilling ya. Pelajar SMK sudah punya skill teknis dan tinggal diperkuat skill bahasanya. Nanti teknisnya apakah berkolaborasi dengan LPK, atau gurunya yang di-up-skilling,” kata Dwi.
Selain institusi pendidikan, level kementerian yang memiliki Balai Latihan Kerja (BLK) dan pemerintah daerah juga tak luput bakal dicap Migrant Center. Sebab, dua institusi ini belum terfokus sepenuhnya membuka kelas persiapan pekerja migran. Pun, soal standarisasi pelatihan, Dwi bilang akan ada penyesuaian bahan ajar dan peningkatan kemampuan instruktur.
Masuknya institusi pemerintahan di level nasional dan daerah dalam penguatan keterampilan CPMI bakal memantik alokasi anggaran, yang datangnya dari APBN atau APBD. Dengan kata lain, berdirinya Migrant Center di masing-masing institusi tidak menggunakan anggaran satu pihak saja.
Di saat sama, masing-masing institusi pemerintahan yang membawahi institusi pendidikan bisa berkolaborasi untuk saling menambal celah-celah pelatihan yang tidak bisa dilakukan. “Jadi jangan berpikir migrant center hanya pelatihan. Migrant center ini merupakan ekosistem,” ucapnya.
Kebutuhan PMI Cenderung Bertambah
Usaha untuk mendongkrak jumlah PMI berkompeten di luar negeri juga seiring dengan tingginya kebutuhan pekerja kompeten di berbagai negara tujuan penempatan. Di beberapa negara dengan jumlah penduduk lanjut usia yang tinggi, misalnya Jepang, Jerman, Australia, Inggris juga Kanada, memiliki permintaan tinggi atas pekerja bidang pengasuhan orang tua.
Seperti di Jepang, tenaga perawat orang tua memang salah satu yang tinggi permintaannya, namun ada sektor lain yang sebenarnya bisa dimasuki PMI dan permintaannya juga besar. Menurut Gina Aghnia Virginianty, Sekretaris Kedua Ekonomi, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo; ada beberapa sektor pekerjaan lain yang paling banyak diisi orang Indonesia saat ini di Jepang. Yaitu sektor pertanian, manufaktur, hingga bidang produksi makanan minuman. “Ada juga sektor produksi produk industri seperti mesin-mesin juga sektor aquaculture hingga konstruksi,” jelasnya.
Namun pihak Kedutaan juga mulai mengusahakan untuk membuka sektor baru yang bisa diisi tenaga kerja dari Indonesia. “Cuma memang prosesnya itu kan juga membutuhkan waktu, khususnya dari persiapan SDM-nya,” katanya.
Beberapa bidang baru yang dibuka, ada sektor industri angkutan mobil, atau semacam driver angkutan logistik. Ada juga di sektor kereta api, lalu sektor industri kehutanan yang penempatannya akan benar-benar bekerja di hutan, hingga sektor industri kayu yang biasa bikin mebel. “Nah ini 4 bidang baru saat ini masih dalam proses penyesuaian. Karena kita juga punya potensi di bidang ini,” tangah Gina.
Gina menyarankan jika ingin bekerja di luar negeri seperti di Jepang, perlu kesesuaian antara skill dan tempat tujuan bekerja dengan ketertarikan profesi pribadi PMI. Sehingga bisa bekerja dengan sepenuh hati. “Jangan sampai di tengah jalan ingin ganti pekerjaan,” kata Gina.
Penempatan tenaga kerja migran ke negeri matahari terbit ini sebenarnya sudah sudah sejak lama dilakukan. Awalnya pada tahun 1993 program ini dimulai dengan program magang bagi para pelajar Indonesia. Ada juga program penempatan kerja yang merupakan bagian dari kerjasama bilateral pemerintah Indonesia dengan Jepang yang disebut Economic Partnership Agreement (EPA). Salah satunya adalah penempatan penempatan pekerja migran di bidang keperawatan dan perawat orang tua atau disebut kaigo dalam bahasa Jepang.
Baru pada tahun 2019, pemerintah Jepang mulai membuat program baru yang ditawarkan kepada negara-negara yang melakukan kerjasama melalui program Specified Skilled Workers (SSW). “Jadi ini penempatan pekerja migran semi-skilled yang bisa tinggal lama di Jepang, berbeda dengan magang yang jangka waktunya singkat,” kata Gina.
Untuk program ini, tenaga kerja migran yang ingin mengikuti, sudah disyaratkan untuk memiliki kemampuan terlebih dahulu sesuai lowongan pekerjaannya, termasuk bahasa Jepang. Ada 16 bidang pekerjaan yang jadi target pemenuhan pekerja migran ini. Seperti pertanian, konstruksi, dan perawatan lansia.
Selama 3 tahun pertama pengiriman lewat program SSW ini, Indonesia memang tak optimal mengirimkan PMI dengan keterampilan seperti yang dipersyaratkan. Yaitu baru sekitar 10 ribu PMI yang ditempatkan. “Angka 10 ribu itu masih kecil ya kalau dibandingkan negara lain,” kata Gina.
Baru tahun 2022 ada peningkatan signifikan dari jumlah PMI yang ditempatkan di Jepang. Hingga per Oktober tahun 2024 itu PMI SSW Indonesia berjumlah sekitar 43.723 orang. Sementara program SSW ini, Jepang butuh sekitar 820.000 tenaga kerja asing hingga Maret 2029. Dan itu ditawarkan kepada sekitar 18 negara yang bekerjasama dalam program ini. Setiap negara bisa menempatkan berapapun yang bisa, hingga kuota total secara nasional terpenuhi.
Kebutuhan pekerja asing di Jepang memang sangat besar. Untuk sektor keperawatan saja, Jepang butuh sampai Maret 2029, sekitar 135.000 tenaga asing. Yang baru terisi diperkirakan baru sekitar 30.000. “Jadi memang kebutuhannya sangat tinggi. Bisa jadi mereka akan tetap membuka kesempatan lapangan pekerjaan tersebut sampai 135.000 tercapai untuk perawat ini,” kata Gina.
Muhammad Hanri, Head of Social Protection and Labor Research Group Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), menyarankan, sebelum pemerintah benar-benar menggenjot penempatan besar-besaran pekerja migran kompeten ke negara lain, perlu disiapkan pula market intelligence terkait kebutuhan negara tujuan penempatan.
Ini bertujuan untuk melatih calon PMI secara tepat. “Jangan sampai kita melatih pekerja migran yang skill-nya tidak dibutuhkan di negara tujuan. Mubazir uangnya,” kata Hanri. Penetapan negara tujuan dan pelatihan yang tepat, lanjutnya, juga mencegah pekerja migran terlatih tidak terserap pasar kerja.
Lebih lanjut, Hanri mengingatkan pentingnya memperhatikan aspek sosial keluarga yang ditinggalkan. Hanri menuturkan pentingnya melihat kondisi keluarga pekerja migran. “Misalnya yang berangkat seorang perempuan yang sudah punya anak. Nah anaknya itu harus dipastikan edukasi dan tumbuh-kembangnya. Jangan sampai itu malah jadi masalah baru,” kata Hanri.
Hanri memandang perubahan regulasi ini sebagai sinyal positif dari pemerintah. Kenaikan status BP2MI jadi kementerian dianggap sebagai bentuk perhatian yang lebih serius terhadap isu pekerja migran. Meskipun penambahan kementerian menimbulkan perdebatan dari sisi anggaran, Hanri melihat langkah ini sebagai itikad baik pemerintah dalam memperkuat perlindungan dan pengakuan terhadap peran pekerja migran.
Mukhlison, Harits Arrasie, Rohman Wibowo dan Tria Dianti